Share |

NYELAMA SAKAI

06.04 Posted In , Edit This 0 Comments »
Amien Wangsitalaja

Petikan sampe mulai mendenting-denting. Kanjet nyelama sakai dimulailah sudah. Dan kembali aku menyukai lagi keberadaanku di sini. Tarian itu menyambutku lagi. Dan seperti dulu, aku selalu akan menunggu dengan hati berdenyar datangnya kanjet manyam tali, karena tarian itu memiliki kekuatan tertentu untuk mengaduk-aduk rasa, seolah melemparkan tali pengikat kepadaku untuk aku selalu berada di bawah pengaruh gendamnya sehingga tak bisa keluar dari mencintai tempat ini.

Aku merasakan kenikmatan itu, kenikmatan diikat oleh sesuatu yang samar-samar tapi terasa, agaknya, sungguh-sungguh eksotik. Aku bahkan mengangankan suatu saat diriku betul-betul dilempari selendang oleh satu dari para penari itu sehingga aku bisa merasakan aroma keringatnya dari dekat. Tapi, ini bukan ronggeng, dan tentu saja karenanya di sini tak ada konsep nibakake sampur. Ah, sayang.

Jangan-jangan, aku sebetulnya memang ingin, suatu ketika, berkenalan dengan satu dari para penari itu. Kami akan duduk diam berdua sambil masing-masing mencoba meraih pesona. Atau, bercengkerama di lantai ulin. Kuharap ia akan membubuhkan buluh perindu ke gelas minumku.

Betul, rupanya aku menyukai kota ini. Kukira Samarinda hanyalah kota yang kumuh. Di banyak tempatnya terlalu berdebu, di banyak tempat yang lain terlalu banyak digenangi air yang baunya busuk menyengat. Tapi, kutatap secara samar-samar warna eksotika. Betul.

Sebagaimana aku membayangkan dapat mencicip bau keringat penari itu atau merasakan aroma napasnya yang tidak memburu, aku memang menyukai sesuatu yang eksotik. Penari itu. Kota ini. Sedang kamu, Naf? Aku sering tersiksa sendiri jika sampai sekarang aku masih saja gagal menemukan eksotika itu. Kamu.

Saat itu, enam bulan lalu, aku masih saja kesulitan mencari kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu, ketika kamu dengan ringan meniupkan kata-kata yang membuatku tersentak.

"Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-kemungkinan!"

"Naf...?!"
"Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu."

"Naf...?!"
Kamu selalu pintar mengalihkan persoalan. Waktu itu aku memang sedang jijik dengan kota ini. Bukan kota ini yang salah, tapi aku tiba-tiba merasa muak tinggal di dalamnya.

Aku mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di kota ini jika bukan karena aku diterima bekerja di sebuah lembaga riset milik negara, yang bergerak di bidang penelitian bahasa. Aku sendiri seorang penikmat sastra dan budaya. Ketika beroleh berita akan ditempatkan di wilayah timur Borneo, hatiku terlonjak. Aku telah mendengar di wilayah itu terdapat beragam sikap dan hasil kebudayaan yang masing-masingnya didukung oleh komunitas etnis tertentu dengan eksotikanya tersendiri.

Langsung kubayangkan asyiknya tantangan untuk menyelami wilayah etnis ini. Aku akan bergumul dengan pekerjaan yang menuntut pelibatan diri yang tinggi. Ya. Kuakui, aku terobsesi dengan grounded research. Aku akan menikmati keasyikan tinggal bersama komunitas Kenyah, Tunjung, Kutai, Berusu, Benuaq, atau yang lainnya dan belajar hidup bersama mereka sambil menyerap inspirasi kultural maupun estetik untuk kemudian mencoba merumuskan apa yang bisa kutemukan dari pergaulan dengan mereka itu. Aku menyukai pedalaman dan eksotika. Selain itu, aku pastilah juga tidak akan lupa meneliti masyarakat Banjar yang banyak diam di perkotaan. Amboi.

Kekecewaan demi kekecewaan mulai menghampiriku. Bagaimanapun, aku kembali tersadarkan bahwa diriku sedang berada di sebuah lembaga milik negara, aku pegawai negara, orang bilang PNS. Dan meskipun lembaga yang kutempati ini bergerak di bidang riset dan keilmuan, tetaplah ia instansi negara. Dan instansi negara, kamu tahu, selalu saja banyak memiliki catatan reputasi moral yang tidak mengasyikkan. Aku harus mulai mengerti, seilmiah apa pun nama lembaga ini, praktik-praktik korupsi, pungli, dan manipulasi akan banyak terjadi.

"Dana untuk penelitian mandiri kalian memang dua juta empat ratus ribu rupiah, yang harus kalian tanda-tangani di kuitansi nanti. Tapi, harap kalian bisa memahami jika uang yang nanti diterima oleh kalian hanya maksimum separonya. Kantor mengambil sekian rupiah dari dana itu untuk membayar penilai proposal dan membayar konsultan. Selain itu, kantor juga akan memungut biaya pengetikan laporan...."

Padahal, aku tahu, pos pemotongan dana untuk penilaian proposal, pengonsultasian, maupun pengetikan laporan itu sama sekali tidak ada dasar hukumnya. Itu semata retorika pejabat melakukan eufemisme terhadap praktik pungli. Pada intinya, birokrasi ingin mengambil uang pungutan dan supaya tidak terkesan liar maka dibuatlah pos-pos penarikan dengan istilah yang sepintas lalu terlihat rasional. Aku sempat menanyakan ke kawan-kawan di lembaga riset sejenis di kota lain dan mereka menjawab di tempat mereka tidak ada pos pemotongan untuk biaya penilaian proposal, sementara untuk menghadirkan konsultan juga tidak diwajibkan.

"Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu."

"Naf...?!"
Rupanya kamu pintar membaca emosiku. Dan kamu tampak lebih dewasa hari itu, sebagaimana aku bisa merasakannya dari napasmu yang tidak memburu. Saat itu, aku sedang belajar meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Tapi....

Barangkali, memang aku jijik dengan instansiku: lembaga riset, lembaga ilmiah, tapi suasananya sama sekali tidak ilmiah. Tepatnya, diksi-diksi ilmiah seringkali dipakai hanya sebagai tudung dari yang sebenarnya hanyalah semata "proyek penghabisan anggaran negara". Peneliti murni yang bekerja untuk motivasi ilmiah justru akan banyak menderita sakit hati di sini.

"Kantor ini tidak membutuhkan orang yang pandai, tapi kantor ini membutuhkan orang yang sopan!"
Itulah statemen paling menjijikkan yang tak mungkin kulupakan. Kamu boleh tersenyum nyinyir jika statemen semacam itu keluar dari seseorang yang mengendalikan sebuah lembaga riset. Saat itu aku memang dibenci oleh atasanku karena dianggap tidak berdisiplin. Disiplin, dalam pemaknaannya yang verbalistik-lipstik, kamu tahu, adalah salah satu kata kunci yang sering dipakai oleh birokrasi Orde Baru untuk membekukan akal sehat dan mematikan apresiasi intelektual. Dan itu masih berlaku di sini.

Bagiku, sebagai peneliti aku harus banyak menggali pengetahuan dan inspirasi dari lingkungan dan masyarakat yang akan diteliti. Peneliti juga harus terlibat dengan wacana yang tengah berkembang di masyarakat. Artinya, peneliti harus menggelandang dan banyak bertandang. Peneliti harus berinteraksi dengan objek yang ditelitinya. Itulah kedisiplinan dan tanggung-jawab seorang peneliti, menurutku. Disiplin bagi seorang peneliti tentu berbeda dengan disiplin bagi pegawai administrasi.

"Ini bukan tawaran. Peraturan mengharuskan kalian untuk memenuhi 38 jam masuk kerja untuk setiap bulan. Jadi setiap pukul 7.30 pagi kalian harus ikut apel pagi dan baru pulang setelah pukul 16.00."

Kamu juga tahu, di kantorku tidak ada buku-buku referensi kecuali buku-bukuku sendiri. Komputer juga cuma satu. Kamu jangan tertawa mengejek dulu, ini kenyataan. Kamu mungkin heran ke mana larinya uang proyek senilai sekian M itu. Jangan heran, pengadaan fasilitas komputer dan buku referensi, yang sebetulnya teramat primer bagi seorang peneliti, bukanlah yang diutamakan di sini. Begitulah, dan ini memang lembaga riset. Dan disiplin bagi peneliti di lembaga riset adalah apel pagi dengan memakai seragam rapi, duduk bengong di ruangan sampai sore (bagi yang perempuan sambil sesekali memperbaiki dandanan dan menebalkan ulang warna lipstik yang hilang), pulang, ke mal sebentar, tidur, bangun pagi-pagi, apel pagi, bengong lagi.... Sekali-kali jangan sok berdiskusi yang ilmiah, itu tidak sopan di mata atasan.

Kamu pasti marah kalau aku dibilang bukan orang yang suka kedisiplinan, karena kamu tahu sendiri, aku lebih sering cerewet mengingatkanmu untuk segera sembahyang atau segera menyelesaikan membaca sebuah novel. Yah, rasanya aku sangat sering beropini di depanmu, kedisiplinan adalah penegakan komitmen keilmuan dan pengabdian pada rakyat, penegakan nilai moral, penjunjungan hukum, penanaman kejujuran dan keadilan, bla bla bla.... Tapi, kenaifan-kenaifan memang selalu sering terjadi, Naf. Peneliti yang dianggap berdisiplin ternyata adalah peneliti yang rajin ikut apel pagi, meski ia tidak memiliki komitmen pada dunia keilmuan, meski orientasi yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana bisa menghabiskan anggaran dana rutin atau dana proyek.

Bukankah seorang intelektual harusnya lebih mengejar peran sebagai moral oracle, orang bijak penjaga moral? Opinimu waktu itu. Aku tak membalahmu. Dan kau mengumpat bahwa banyak dari mereka yang bergerak di dunia intelektual tergelincir menjadi tak lebih dari servant of power, budak-budak kekuasaan. Nah, kau pintar, Naf. Dan kepintaranmu makin mendorongku untuk muyak dengan semua ini.

Akhirnya, aku memang mulai jengah dengan kota ini. Apalagi hubunganku denganmu selalu saja belum bisa seasyik yang kubayangkan. Aku mengangankan penari itu. Eksotika. Aku menginginkan ada yang membubuhkan buluh perindu di gelas minumku. Tapi, kamu telah dengan lancang nyelonong mencuri hatiku. Naf...

Betapa akrabnya canda kita setiap menaiki taksi kuning itu. Dan kamu selalu senang mengantarku ke lamin Pampang, menengok tarian. Betapa akrabnya diam kita setiap prosesi tarian bermula dari nyelama sakai. Aku suka penari-penari itu, tapi candamu menjebakku. Setiap pulang dari lamin kamu selalu memastikanku untuk meneruskan keakraban itu di rumahmu. Kita berdiskusi banyak hal. Dan napasmu tidak memburu. Tapi, aku sering khawatir setiap aku belajar mencari-cari warna eksotik dari inner beauty-mu. Aku mengangankan penari-penari itu. Betapa tidak asyiknya aroma kota dari bau mandimu, meski ketika berdiskusi banyak hal aku selalu bisa mencicipi asyiknya napasmu yang tidak memburu.

Kamu mengasyikkan justru ketika kamu terlalu cepat memutuskan.
"Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-kemungkinan!"

"Naf...?!"
Aku memang jengah dengan kota ini hanya karena rasa muakku setelah idealismeku sebagai peneliti dibunuh justru oleh lembaga kepenelitian tempatku bekerja di kota ini. Etika ilmiah dibunuh oleh instansi yang mengatasnamakan lembaga ilmiah. Aku memang risih bergaul dengan para pemuja "proyek" yang mencampakkan intelektualitas. Aku mungkin memang harus melupakan dulu kota ini. Tapi, apakah harus aku melupakan kecerdasan yang selalu meriah yang kuasyiki dari napasmu yang tidak memburu itu? Naf...?

Petikan sampe telah lama berhenti. Pengunjung juga sudah beranjak, sebagian keluar lamin, sebagian menuju sisi kiri lamin dan mulai menawar-nawar aksesori ataupun ramuan-ramuan a la Kenyah yang dijajakan di lantai lamin. Aku mulai beranjak. Aku sebetulnya masih ingin berlama mencuri cium aroma keringat penari-penari itu, tapi kamu sudah akan menunggu di taman di tepi sungai, sore ini. Mahakam.... Naf....

Aku juga heran, kenapa kamu hari ini tidak mau menyambutku dengan menemaniku mengulang memori ini. Menengok penari-penari. Padahal, sudah enam bulan kita tidak pernah bersama-sama melakukannya sejak aku harus memutuskan meninggalkan kota ini dan menyembunyikan alamatku di pulau seberang. Aku masih meninggalkan nomor ponselmu. Dan aku betul terlonjak ketika dua hari lalu kau menghubungi nomorku, meminta bertemu.

Mulanya aku agak ragu untuk kembali menginjak kota ini. Rasa kecewa dengan instansiku dulu, dengan ketidakintelektualan birokrasinya, masih kusimpan. Tapi, aku memang diam-diam selalu digelisahkan rindu. Kecerdasanmu. Napasmu yang tidak memburu. Dan, o, barangkali kita masih akan berbalah soal keringat penari-penari itu, juga buluh perindu.

Aku telah mencapai taman di tepian sungai ini setelah harus berganti taksi tiga kali. Seperti anak kecil, aku berlari-lari kecil menyusuri wajah-wajah yang sedang bersantai. Pastilah kamu, Naf, akan kujumpa lagi. Dan memang aku tidak sulit untuk menandaimu. Kira-kira sepuluh kaki di sebelah kiri kulihat kamu duduk menyendiri.

Aku mengumpat dalam hati karena rupanya kamu selalu saja memulai pertemuan dengan canda. Ya, pastilah kamu bercanda dengan menyembunyikan kejutan hadiah di sebalik jubahmu itu. Teramat besar rupanya volume hadiah yang akan kamu kejutkan untukku itu sehingga seolah kamu sedang mendekap sebuah bantal kecil di perutmu. Ayo, keluarkan, Naf, kutebak itu boneka penari atau....

Akan tetapi, senyummu menampakkan canda yang serius. Dan aku betul-betul terkejut.

"Naf...?!"
"Ya, penari kecilmu."
"Naf...?!"
"Ya, tujuh bulan."
"Naf...?!"

Aku tidak sempat membalah kenapa kamu tidak mengatakannya sejak enam bulan lalu. Aku terpaku dalam sugun. Sekali ini aku telah benar-benar bisa meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Keringatmu melebihi keringat para penari itu, melebihi buluh perindu. Napasmu juga tidak memburu. Aku terjebak dalam eksotisme yang akut. Kukira aku telah begitu saja melupakan kekesalanku atas penolakanmu siang tadi untuk menemaniku menengok nyelama sakai dan mencuri bau keringat para penari.

"Aku akan mempersembahkan nyelama sakai dan manyam tali sekaligus, khas untukmu sore nanti. Kita bertemu saja di taman itu. Ingat, jangan dulu datang ke rumah. Tarian penyambutanku itu lebih nyaman kauasyiki di taman. Nanti sore, pukul lima, jangan terlambat."
"Naf...."

Samarinda, 2005
Sumber: http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2005/07/nyelama-sakai.html

Celana Pinurbo

04.59 Posted In , Edit This 0 Comments »
Aminudin R Wangsitalaja
http://entertainmen.suaramerdeka.com/

LAILA masih hanya mengagumi celana pendek yang tergantung di paku kamar mandi itu. Tak berani ia menyentuhnya. Padahal ingin sekali ia membelainya.

Laila baru selesai mandi. Ia baru sadar jika di deretan paku penggantung pakaian itu tergantung sebuah celana pendek. Letaknya persis berjejer dengan pakaian Laila yang lain.

Apakah ini celana pendek Pak Pinurbo? Kenapa, jika ya, beliau lupa memakainya kembali atau membawanya ke kamar atau merendamnya di ember jika memang sudah kotor?

Laila lantas ingat bahwa Pak Pinurbo sebenarnya tidak suka memakai celana pendek. Beliau selalu bercelana panjang atau jika di dalam rumah memakai sarung. Jika Pak Pinurbo memakai sarung, sering beliau mengibasngibaskan sarung itu entah apa sebabnya, yang kemudian di pengamatan Laila sarung itu seolah berkibar-kibar. Laila kemudian sering membayangkan yang nakal-nakal, misalnya ingin berteduh di bawah kibaran sarung itu.

Sepengetahuan Laila memang Pak Pinurbo tidak pernah memakai celana pendek.

Justru Laila-lah yang sangat suka bercelana pendek di rumah karena gerak menjadi lebih leluasa. Laila tidak suka celana panjang apalagi rok.

Ini membuat Pak Pinurbo pernah meledeknya, “Laila ini perempuan, tapi kok hobinya bercelana pendek?“

“Kenapa memangnya, Pak?

Memangnya perempuan tidak boleh bercelana pendek?“ “Karena perempuan bukan lakilaki, padahal lakilaki memakai celana pendek…“

“Ah, Pak Pinurbo tak paham feminisme!“

“Saya penulis buku-buku keperempuanan, jangan salah.“

Tentu saja Laila tak ingin meneruskan percakapan itu. Ia sudah jenuh menjadi aktivis pemberdayaan perempuan.

Lagian, Pak Pinurbo tentu hanya bergurau atau sengaja memancing diskusi. Pak Pinurbo sendiri memang penulis buku-buku keperempuanan. Dan Pak Pinurbo tahu jika Laila aktivis LSM perempuan. Pak Pinurbo sering meledek Laila dengan memancing-mancing perdebatan soal laki-perempuan. Di luar itu, sebetulnya Laila sendiri memang selalu tidak mampu mendebat atau sekadar berbincang lama dengan Pak Pinurbo ini.

Laila baru selesai mandi. Tak habis pikir ia kenapa Pak Pinurbo mau juga bercelana pendek. Mungkinkah karena Pak Pinurbo tidak pernah bercelana pendek itu sehingga ketika ia memakainya dan mencopotnya saat mandi ia menjadi lupa memakainya lagi? Bahkan, Pak Pinurbo mungkin lupa jika baru saja memakai celana pendek?

Laila gugup. Tak berani ia menyentuh celana pendek itu padahal ia ingin sekali melakukannya.

Mungkin Pak Pinurbo tergesa-gesa. Tak tahu beliau jika celananya tertinggal. Ke mana gerangan sepagi ini? Setahu Laila Pak Pinurbo sudah memutuskan berhenti kerja. Ini juga melengkapi ketakpahaman Laila terhadap cara berpikir Pak Pinurbo.

Kepribadian dan cara berpikir Pak Pinurbo memang menarik, meski terkadang terkesan tidak rasional, tidak taktis, tidak pragmatis. Dalam hal kerja, misalnya, Pak Pinurbo sebetulnya sudah berada dalam posisi mapan kini. Ia adalah kepala editor di sebuah penerbit buku. Meski penerbit ini masih kecil, tapi cukup prospektif. Nah, tiba-tiba saja Pak Pinurbo bersikap hendak keluar dari pekerjaannya. Orang lain terengah-engah mencari cantolan kerja, beliau enteng saja melepas apa yang sudah di genggamannya.

“Kerja bukan hanya berkaitan dengan soal materi, Dik Laila,“ ujar Pak Pinurbo.

Laila tergagap dipanggil “dik“. Lagilagi ia tak akan bisa berdebat dengan Pak Pinurbo. Terlalu tak terjangkau sosok itu baginya. Dalam pembelaan Laila kepada dirinya sendiri, ini bukan soal ketidaktegaran perempuan di depan laki-laki. Tidak. Tidak karena Laila perempuan sehingga Laila tidak mampu mendebat Pak Pinurbo. Atau kalaupun mungkin juga karena Laila perempuan, tapi bukan dalam konteks perempuan yang berkontradiksi dengan laki-laki.

Kenyataanlah bahwa Pak Pinurbo berkarisma secara khusus bagi Laila, yang secara kebetulan Laila adalah perempuan yang menyimpan respons tersendiri terhadap laki-laki ini.

Laila sudah selesai mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Ia mulai men genakan T-shirt setelah sebelumnya sudah dikenakannya apa-apa yang seki ranya perlu dikenakan sebelum T-shirt itu. Ia memandangi lagi celana pendek itu. Pikirannya agak kacau. Pak Pinurbo tiba-tiba mau bercelana pendek. Lebih kacau lagi pikiran Laila setelah ia sadar bahwa justru ia yang pagi itu tidak bercelana pendek. Padahal biasanya saat tidur pun Laila memilih bercelana pen dek.

Celana pendek yang tergantung di paku di dinding kamar mandi itu tampak sungguh menarik. Ia menimbulkan getaran. “Mudah-mudahan memang milik Pak Pinurbo,“ pikir Laila.

Kamar mandi ini memang dipakai bersama, untuk pemilik rumah dan Pak Pinurbo. Sudah dua tahun Pak Pinurbo indekos di salah satu kamar rumah pasangan suami istri Syubanudin-Utami. Laila anak tunggal pasangan suami istri itu.

Laila sebetulnya sudah saatnya menjadi sarjana, tapi agaknya hal itu tidak bakal kesampaian. Laila terlalu progresif dalam pikiran dan tindakan. Ia mulamula intens menjadi aktivis dalam gerakan-gerakan, terutama gerakan kiri dan perempuan. Kehidupan cintanya carutmarut karena ia selalu salah membaca cinta. Lagipula, Laila terlalu mengedepankan stigma kyriarkis setiap bergaul dengan laki-laki. Pada kemudiannya Laila tampak lebih mewakili prototipe gadis yang putus asa. Ia tak bisa berkonsentrasi meneruskan studinya padahal di satu sisi ia betul-betul mulai jenuh dengan ide-ide aktivisme.

Kehadiran Pak Pinurbo memberi santapan rohani tersendiri bagi hari-hari Laila yang mulai sepi. Pak Pinurbo sosok yang tampak pendiam, perenung, dan problematis awalnya, tapi kemudiannya ia adalah sosok yang menarik dalam joke dan statement-statemen-nya. Ia masih muda, tiga puluh usianya. Belum beristri, tapi keluarga Syubanudin tetap memanggilnya dengan sebutan “Pak“ untuk kebiasaan menghormati orang. Laila juga suka melafalkan sapaan “Pakî ini dengan intonasi yang khusus.
Permainan intonasi memunculkan permainan baru dalam hal emosi. Laila menyukai permainan semacam ini.

Pak Pinurbo seorang yang berpengalaman sebagai editor dan penulis. Beliau menulis beberapa hal, dari puisi sampai tulisan-tulisan tentang perempuan. Ini membuat Laila respek. Laila memang mulai jenuh dengan wacana perempuan dan segala wacana aktivisme, tanpa sebab yang betul-betul jelas bagi Laila sendiri. Kehadiran Pak Pinurbo dengan jokes yang menarik seputar wacana keperempuanan mengembalikan kenangan-kenangannya semasa menjadi aktivis. Kenangan ini menjadi menarik karena Pak Pinurbo memberinya cara pembacaan yang tidak politis dan tidak ideologis terhadap wacana laki-perempuan ini.

Tiba-tiba juga Laila kemudian menyukai puisi. Perasaannya yang akhirakhir ini sering kacau entah oleh apa mulai agak tenang. Bahkan Laila mulai lagi ingat sembahyang.

Oleh ketertarikannya pada puisi membuat imajinasi Laila hidup. Terlalu hidup malah. Laila mulai membayangkan rasanya jika bisa terbang, ia akan menggoda burung-burung sambil mengintip laki-laki yang dipacari perempuannya di sebuah perbukitan. Laila mulai membayangkan jika ia jadi lakilaki, ia hanya akan bercelana pendek saja tanpa pakaian lain berlari-lari memutari kampung secara bebas tanpa ada yang risih. “Oh, alangkah nyamannya hanya bercelana pendek,“ gumam Laila.

Laila tidak paham kenapa Pak Pinurbo tidak suka celana pendek. Kenapa lebih merasa nyaman bersarung? Sarung mungkin memang nyaman dipakai, tapi itu kampungan. Bagi Laila Pak Pinurbo harus disadarkan.

Laila bayangkan alangkah menariknya Pak Pinurbo dengan hanya bercelana pendek. Laila imajinasikan juga, kalau kedua-dua mereka menyukai bercelana pendek, Laila ingin tukar-menukar celana pendek dengan Pak Pinurbo. Laila ingin memakai celana pendek Pak Pinurbo dan Laila berharap Pak Pinurbo mencoba juga celana pendek Laila. Paskah?

Bagi Laila Pak Pinurbo harus disadarkan. Tapi Pak Pinurbo mungkin sama sekali tidak pernah punya celana pendek. Langkah pertama adalah Laila akan diam-diam membeli celana pendek dan diam-diam pula menghadiahkannya kepada Pak Pinurbo, entah lewat paket tak berpengirim atau biar lebih puitis taruh saja langsung di bawah bantal di kamar Pak Pinurbo.

Tapi, beranikah Laila masuk kamar Pak Pinurbo? Setiap Laila hendak ke kamar mandi memang selalu harus melewati depan kamar Pak Pinurbo dan setiap itu pula kakinya agak berat dilangkahkan. Jalannya berdebar.

Jadi, bagaimana pula ia akan berani memasuki kamar itu?

Laila sudah selesai mandi. Ia masih memandangi celana pendek yang tergan tung di paku di dinding kamar mandi itu.

Ia tak berani menyentuhnya dan hanya membayangkan Pak Pinurbo tadi telah memakai celana itu.

“Laila! Kau selalu lama jika mandi!“ terdengar suara keras ibunya dan gedoran pintu kamar mandi.

“Ya, Bu. Sudah selesai…,“ sanggah Laila gugup.

Laila keluar kamar mandi. Ia sudah memakai T-shirt dan handuk dililitkan di pinggangnya. Laila bergegas menuju kamar, tak berani menengok ke pintu kamar Pak Pinurbo ketika melewatinya.

“Laila! Celana pendekmu ketinggalan!“ omel Ibu.

Laila tidak mendengar.

“Laila! Ini celana barumu yang kaubeli kemarin itu!“ omel Ibu.

Laila tidak mendengar.

“Laila! Baru kaupakai semalam celana ini, kau sudah bosankah?“ omel Ibu.

Laila tidak mendengar.

“Laila! Ambillah dulu celanamu.

Awas kubuang nanti. Kau tak sayang dengan celana bagus ini? Kautahu, sayangku, Pak Pinurbo semalam memuji celana barumu ini!?“ omel Ibu berkepanjangan.

Dan apakah Laila mendengar?

Yogya Basis Sastra Alternatif

04.57 Posted In , , Edit This 0 Comments »
Amien Wangsitalaja
http://www.kr.co.id/

MEDIA SASTRA, terutama sastra tulis, merupakan media yang cenderung tidak diminati secara massal dan karenanya cenderung tidak memiliki “masa hidup” yang panjang. Pamusuk Eneste dalam “Timbul dan Tenggelamnya Majalah Kebudayaan” (Matabaca, vol 1/no.4/ November 2002) menyimpulkan bahwa banyak majalah kebudayaan yang masih rutin terbit, yaitu Horison dan Basis ditambah dua lagi yang agak diragukan keberlangsungan terbitnya, yaitu Kalam dan Kolong.

Dari keempat nama yang disodorkan Pamusuk itu, hanya Horisonlah yang memiliki perhatian dalam porsi yang besar terhadap sastra, sementara lainnya lebih berorientasi pada kebudayaan secara umum (bahkan Basis sama sekali sudah menghilangkan rubrik sastranya). Dengan demikian bisa dikatakan Indonesia masih hanya memiliki satu majalah sastra saja, yaitu Horison. Karena itulah, kegelisahan untuk membuat media sastra alternatif penting untuk dimajukan, minimal untuk menyemarakkan wahana ekspresi dan publikasi sastra kita.

Lantas, kenapa Yogyakarta dimajukan sebagai tempat kemunculan media sastra alternatif itu? Jika kita renungkan secara serius, agaknya bukan tidak mungkin jika Yogyakarta memang kondusif untuk tempat melahirkan media sastra alternatif tersebut.

Pertama, dari sisi motif-motif politik. Jika dibandingkan dengan Jakarta, misalnya, maka suasana di Yogyakarta lebih memberi tempat kepada tumbuhnya sikap saling menghargai di antara para pekerja sastra. Politik “perkubuan” boleh dibilang telah usang untuk dikembangkan di kota ini, terutama setelah kematian Linus Suryadi. Suasana ini tentu berbeda dengan Jakarta, yang bias-bias politik “perkubuan”-nya teramat kental.

Di sana, setidaknya, ada kubu Utan Kayu “TUK” dan Utan Kayu “Horison” (karena Horison mulai Januari tahun ini juga bermarkas di Utan Kayu) sebagai dua kubu yang memiliki power tertentu yang diperhitungkan dalam perpolitikan” sastra. Kemudian di wilayah marjinalnya terdapat komunitas Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ), Komunitas Sastra Indonesiia (KSI), komunitas-komunitas sastra pergerakan yang melahirkan Media Kerja Budaya (MKB), juga komunitas-komunitas lain yang mencoba untuk lebih bersikap independen semacam Yayasan Multimedia Sastra (YMS).

Kentalnya bias politik “perkubuan” tentu akan membuat kehadiran ataupun kemunculan seseorang atau sesuatu apa pun dalam khasanah komunikasi sastra di Jakarta, akan mudah direspons dalam suasana kesalingcurigaan. Melejitnya nama seseorang sastrawan, pemilihan nama-nama tertentu sebagai peserta sebuah festival sastra internasional, peluncuran buku antologi sastra, penjurian-penjurian dan penghargaan-penghargaan sastra, dan sebagainya; adalah peristiwa-peristiwa yang tak pernah luput dari nuansa politik “perkubuan” tersebut. Komunikasi sastra telah kehilangan kesahajaannya dan upaya-upaya pemajuan dunia kesusastraan rentan untuk tergiring ke penjadian dunia kesusastraan sebagai alat untuk peneguhan kubu politik.

Jika kita hendak memunculkan sebuah media sastra baru atau alternatif di Jakarta, jangan-jangan sebelum media tersebut berhasil muncul kita sudah disibukkan untuk menjawab berbagai sinisme dan kecurigaan yang ditujukan terhadap motif-motif apa pelahiran media ini, siapa berdiri di belakangnya, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang berlagak kritis tapi sebetulnya melulu politis. Jika demikian, tentu Yogyakarta bisa dijadikan kota alternatif untuk penggairahan dan pemajuan sastra, termasuk misalnya untuk menjadikan kota ini basis dari media sastra alternatif. Penggairahan dan pemajuan sastra yang diharapkan lebih bersahaja dan tidak tenggelam oleh banalitas nafsu politik mudah-mudahan bisa dilakukan di sini.

Kedua, dari sisi motif-motif ekonomi. Dalam tulisan di Matabaca tersinggung di atas, Pamusuk Eneste mengutip pendapat Jakob Sumardjo perihal mengapa sebuah majalah kebudayaan (atau majalah sastra) cenderung mudah mati di tengah jalan. Menurut Jakob Sumardjo, ada beberapa hal yang menyebabkan sebuah majalah kebudayaan bisa bertahan hidup, dan salah satunya adalah bahwa majalah itu harus bukan mengejar keuntungan komersial tapi keuntungan kultural.

Faktor pengesampingan motif komersial inilah poin yang kemungkinan besar komunitas sastra Yogyakarta masih bisa menjalankannya, yang orang-orang dari kota-kota besar lain (Jakarta, Bandung, dsb.) sulit untuk melepaskan diri dari jaring-jaring sikap hidup materialistik dan pengejaran keuntungan material semacam itu.

Kita bisa belajar dari dunia penerbitan buku secara umum. Yogyakarta adalah gudang dari puluhan penerbit alternatif. Penerbit-penerbit kecil mandiri banyak muncul dari kota ini dengan karakteristik utama yang dimiliki oleh mereka adalah: (1) berangkat berbekalkan semangat idealistik, (2) tidak memaksudkan sebagai sebuah usaha dagang yang murni profit oriented, (3) bermodal finansial yang pas-pasan, (4) memiliki semangat mendobrak mainstream wacana yang status quo.

Penerbit-penerbit alternatif jika menerbitkan sebuah buku pertama kalinya, bukan untuk mengejar keuntungan komersial, tapi untuk keuntungan kultural. Dan terbukti di Yogyakarta semangat-semangat tersebut masih bisa dipelihara, dan penerbit-penerbit alternatif tersebut juga terbukti bisa bertahan hidup di kota ini. Dari contoh bisa bertahannya penerbitan buku alternatif di Yogyakarta inilah, maka bukan tidak mungkin ide untuk menjadikan Yogyakarta sebagai basis penerbitan media sastra alternatif, akan menemukan relevansinya.

Beberapa media sastra alternatif itu pun memang telah mulai mencoba untuk muncul dari sini. Contohnya Jurnal Cerpen Indonesia. Bahkan, Jurnal Puisi yang pada mulanya terbit di Jakarta dan merasa kewalahan untuk bertahan hidup dan sempat sekarat bertahun-tahun, akhirnya memilih untuk bertahan terbit di Yogyakarta.

Kemudian sesudah itu dan karenanya, masih terbuka kesempatan untuk menggagas dan melahirkan media sastra lain di sini. Mari beramai memunculkan media-media sastra lain di sini. Mari jadikan Yogyakarta sebagai basis media sastra alternatif. Dan kalaupun di kota ini pernah dideklarasikan Asosiasi Penerbit Alternatif (APA) dan Aliansi Penerbit Independen (API), bukan tidak mungkin akan lahir juga Asosiasi Media Sastra Alternatif (AMSA) yang mudah-mudahan khalis dari kepentingan politik dan ekonomi secara sempit. ***