Share |

Percikan Tasawuf dalam Perawan Mencuri Tuhan

22.54 Posted In , Edit This 0 Comments »
Miziansyah J.
Minggu Pagi, no 41 th. 58 Minggu kedua Januari 2006

Dorongan dan minat untuk mengekspos seperangkat puisi sufi ke dalam satu antologi ternyata bukan cuma hura-hura penyair, tapi betul-betul kesucian niat tanpa mengharap pernik-pernik yang bersifat riya.

Begitulah halnya yang terjadi dengan Amien Wangsitalaja, penyair kelahiran Wonogiri, 19 Maret 1972, yang sekarang tinggal di Samarinda, yang telah merampungkan antologi Perawan Mencuri Tuhan (Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2004) yang memuat 73 puisi sufinya. Motivasi Amien memang didasari oleh ketulusan yang ikhlas tanpa pretensi yang profan.

Menulis puisi sufi, bagi setiap yang mampu, adalah suatu keharusan bukan sesuatu yang musykil. Namun, tidak setiap orang mampu melahirkan puisi dengan bobot ilahiyat yang patut. Bila seseorang mengungkap sesuatu tanpa didasari oleh pancaran sikap jujur dan benar, bobot yang dikandung hanya semata hipokrit.

Gambaran kesucian dari sikap penyair dalam Perawan Mencuri Tuhan dapat terlihat, misalnya, pada puisi “Sajak Sufi 1”, “Sajak Sufi 2”, dan “Sajak Sufi 3”. Ketiga puisi tersebut memiliki ending dengan motif yang sama yang menyatakan minat tentang pengeksposan puisi sufi. Ketiga puisi diakhiri oleh kuplet yang sama bunyinya: karena itu / sebab pekerti, bolehkah aku / menulis sajak sufi?

Secara vulgar penyair telah menunjukkan suatu kesimpulan dalam hal motivasi penulisan puisi, yaitu suatu keharusan dan keputusan dari tingkah dan amal penyair yang murni, yang akhirnya melahirkan tanda tanya besar yang bersifat retorik bolehkah menulis sajak sufi. Tanda tanya tidak memerlukan jawaban karena jawabannya tergambar pada premis yang sudah muncul pada kuplet sebelumnya sebagai kausalitas dari kesucian dan kemurnian.

Kuplet pertama dan kedua “Sajak Sufi 1” mengungkapkan betapa ikhlasnya pengejawantahan tingkah dan amal, termasuk ibadah mahdhah. Dikatakan dalam kuplet pertama: tak harus kau tahu / syahadatku qaim / shalatku daim / shiyamku lazim / hajiku naim dan dalam kuplet kedua: tak harus kaupandu / judi aku tak / mabuk aku tak / zina aku tak / korupsi aku tak.

Sikap ikhlas terungkap dalam baris tak harus kau tahu yang menafikan ketakaburan dan keriyaan. Selain itu, pernyataan vulgar menolak segala tingkah kemunkaran diawali dengan tak harus kaupandu menunjukkan suatu jaminan intensitas yang cukup meyakinkan.

Pada puisi yang berjudul “Sajak Sufi 2” penyair mengungkapkan kesederhanaan dalam beramal, seperti dikatakannya: aku pun / beramal secara wajar / tak harus besar-besar. Kemudian, pada “Sajak Sufi 3” dikatakan: kepada perampok dan ahli tenung / aku memang tak berkata langsung / tapi kudidik kawan-kawan / tentang cara-cara membela badan, menampakkan performen subjektif dalam menyikapi kejahatan, yang tidak konfrontatif (berkata langsung) tapi lebih memilih memperkuat diri (membela badan).

Antologi yang memuat 73 judul puisi ini memiliki tipografi yang mirip, yaitu sebentuk puisi alit yang terdiri dari satuan gramatika yang tersusun dari frasa-frasa tanpa banyak “sayap”. Dengan kesederhanaan gramatikalnya (dan susunan sintaksis yang normatif dan wajar), kontekstualisasi puisi tidak memerlukan upaya kontemplasi yang terlalu rumit.

Dalam antologi Perawan Mencuri Tuhan ini tema-tema sosial berjalin berkelindan dengan panduan semangat religius. Artinya, puisi-puisi berdimensi sosial itu diungkapkan dengan perspektif profetik. Kita lihat misal pada puisi berjudul “Intelektual dan Sejarah”: sempatkan dirimu / untuk memikirkan negeri ini / sebagaimana engkau memikirkan budi dan hati // (kulihat / engkau mulai menulis / sebuku epos atau sebait puisi / tentang keraguanmu / kepada negeri ini / dan keraguan negeri ini / kepada budi dan hati) // dan sebagaimana / engkau meragukan negeri ini / negeri ini pun / meragukan tulisanmu.

Tercabik-cabiknya kemapanan faktual sejarah menyebabkan bablasnya orientasi nilai sehingga orang-orang merasa ragu terhadap suatu kebenaran. Penyair menyeru kepada kaum intelektual dan sejarahwan untuk sedapat mungkin turut memikirkan suasana negeri yang terlanjur morat-marit. Agaknya tidak gampang karena ada semacam keraguan terhadap signifikasi nilai akibat sistem kelola sejak dari peletakan batu atau pemasangan prasasti yang diaduk dalam ranah kekuasaan. Maka, sikap syak wasangka terhadap nilai dan akurasi sejarah terus berkembang menuju suasana ketakpastian dan tidak mustahil menimbulkan kesalingcurigaan di antara elemen masyarakat (engkau mulai menulis / sebuku epos atau sebait puisi / tentang keraguanmu / kepada negeri ini / dan keraguan negeri ini / kepada budi dan hati). Maka, yang sangat diperlukan dalam hal ini adalah penanganan serta adanya sikap kejujuran bagi kaum intelektual dan sejarahwan.

Aspek sosial lain yang sarat dengan penggarapan sudut pandang kenabian (profetik) di antaranya adalah puisi yang berbicara tentang banjir, berjudul “Air”: aku melihat: / sehabis kota tertimpa banjir / beberapa kita sibuk merumuskan bencana / beberapa kita sibuk merias berita // (beberapa meraka yang paling tertimpa / tak sempat menakar duka) // aku tahu: / nuh tidak pernah / merekayasa air bah.

Potret yang klasik jika terjadi banjir adalah orang hanya sibuk “merumuskan” bencana, hanya membuat pengukuran maksimum/minimum untuk dijadikan laporan rutin. Tidak ada usaha ke arah penanggulangan lebih lanjut. Inilah yang disindir oleh penyair.

Penyair kemudian mengajak menoleh kepada potret Nuh a.s. Bagi Nuh, sebuah bencana adalah sebuah misteri. Hikmah dari bencana adalah ujian tentang sempurna atau tidaknya aqidah seseorang atau suatu kaum.

Peristiwa banjir terbesar dalam sejarah peradaban manusia adalah di zaman Nabi Nuh. Sebelum terjadinya peristiwa itu Nuh diperintah melalui wahyu untuk membuat bahtera demi menyelamatkan sebagian makhluq hidup (berjenis-jenis binatang buas, binatang jinak, tetumbuhan, dan manusia yang memiliki aqidah dan beriman kepada Nabi Nuh.

Peristiwa penyelamatan melalui bahtera ini sekaligus penyeleksian umat yang beriman serta terciptanya suatu lingkungan kesejahteraan yang damai di antara sesama makhluq yang terangkut bahtera. Mereka yang ikut bahtera adalah mereka yang tidak memiliki sikap menantang dan sombong. Sementara itu, anak Nuh sendiri, yang selalu menantang dan menolak ajakan penyelamatan karena mengingkari aqidah akhirnya tenggelam.

Puisi yang lain, berjudul “Banjir 1” berbunyi: nuh / aku bukan anakmu / nuh / aku bukan anakmu / nuh / aku bukan anakmu. Barangkali, redundansi seruan ini merupakan ungkapan supernatural yang mungkin menyelamatkan, minimal meringankan cobaan yang menimpa. Kita bukan anak nuh, maka kita memohon untuk bisa selamat.

“Banjir 2” berbunyi: dua syeikh berbincang // “tahukan tuan korelasi / antara bencana banjir dengan politik / dengan ekonomi?” // “hamba tak tahu. yang kutahu korelasi / antara bencana banjir / dengan keakraban sesama / dengan kejahatan sesama”. Puisi ini merefleksikan bahwa secara hukum kausalitas, peristiwa bencana memang memiliki suatu penyebabnya, kadang dari kesengajaan atau kelalaian.

Sementara itu, “Banjir 3” juga memiliki koherensi dengan “Banjir 2”, yaitu masing-masingnya mengungkapkan tentang kausalitas. Banjir lebih bisa dipahami sebagai kesengajaan yang memang dikehendaki seperti halnya kesengajaan aristokrat “menghendaki” suatu negara: kutahu / banjir ada yang membuat / seperti kata aristokrat / negara aku yang membuat.

Masih soal musibah, puisi “Api 1” berkisah tentang kebakaran. Kebakaran juga bisa terjadi karena disengaja atau tanpa disengaja. Namun, setelah terjadi kebakaran, akibat yang ditimbulkannya selalu negatif, yaitu beralihtangannya hak milik. Biasanya, dengan alasan “penertiban”, kepemilikan hak dipaksa untuk diputihkan ke tangan pemerintah (cara mudah merampas tanah / adalah membakar pasar / atau menghanguskan rumah).

“Api 2” juga mengintrodusir tentang pemusnahan. “Api 2” mengungkapkan peristiwa kebakaran di suatu senja di sebuah koloni. Puisi itu menyiratkan bahwa masa ini sering terjadi “penggusuran” terhadap sekelompok orang atau koloni yang muncul dari sikap kemanusiaan yang usang yang menyulutkan rasa dendam. Ini adalah dampak negatif dari kepentingan politik dan ideologi pembangunan: senja / api membakar sirap / atap rumah penduduk koloni // hati orang bising / oleh pembangunan / dan kemanusiaan yang usang / berseloroh dendam.

Puisi “Perawan Mencuri Tuhan” (yang juga dijadikan sebagai judul buku) adalah puisi renungan sufistik. Perawan adalah pengibaratan dari jiwa muda perjaka dengan alam pandangan realitas. Ketika perawan merasakan perangkat iderawi ketuhanan, ia justru bersembunyi dari pengawasan inderawi manusia. Ia memiliki kekhawatiran, seperti orang perahu yang hanya seorang dalam kesendirian daya dan karya tanpa tergantung pada siapa pun, lepas dari segala bentuh ma’unah supernatural apa pun.

Yang tertangkap dari puisi ini adalah jiwa kembara tanpa menggantungkan harap kepada siapa pun, tanpa rasa rindu, cinta, kasih, perlindungan, dan lain-lain karena ia tengah “mencuri tuhan”.

ada perawan bersembunyi
di balik meja dan almari kayu
takutnya serupa orang perahu
yang sedang berlayar sendiri

ia perawan yang bersembunyi
di balik meja dan almari kayu
agar ibu tidak melihatnya
agar bapak tidak melihatnya
agar kakak tidak melihatnya
agar adik tidak melihatnya
agar semua tidak melihatnya
: ia tengah mencuri tuhan mereka

***
Miziansyah J. (almarhum)
Penyair, guru agama di SDN 033 Samarinda, Kaltim
Alamat: d.a. SDN 033 Sungai Kapih, Samarinda Ilir, Samarinda 75011

“Sastra Kelamin” dan Ideologi Kelas

22.43 Posted In , Edit This 0 Comments »
Amien Wangsitalaja
Republika, 18 nov 2007

Polemik tentang “sastra kelamin” (dalam tanda kutip) sebetulnya sudah mengemuka pada awal era 2000-an. Namun, polemik tersebut sekarang mengemuka lagi. Polemik di media cetak setidaknya tersaji di dua media cetak nasional, Republika dan Jawa Pos. Rerata polemik mengaitkannya dengan persoalan moralitas versus kebebasan kreatif dan kemudian ada yang menggiringnya ke persoalan agama.

Mungkinkah ada sisi lain dari fenomena gelontoran karya-karya sastra yang mengusung wacana kebebasan dengan modus operandi berupa eksplorasi tema seks tersebut? Ataukah jangan-jangan yang terjadi sebetulnya bukanlah pertarungan segi moral (ideologi spiritual), tetapi pertarungan segi lain yang kental berkaitan dengan persoalan suprastruktural (ideologi material)?

Saya tiba-tiba teringat kepada sebuah acara jumpa pengarang dan diskusi buku Fira Basuki di kafe Soda Longue, Yogyakarta, awal 2004 lalu. Yang menarik adalah ungkapan Fira Basuki yang kira-kira bunyinya, “Orang boleh pilih pizza atau gado-gado. Saya menyajikan pizza, jika Anda tetap memilih gado-gado itu terserah….”

Komentar itu mengandaikan adanya sebuah ideologi kelas atau politik identitas yang sedang diusung oleh Fira. Fira mengklaim bahwa ia adalah penyaji pizza sementara yang lain sematalah penyaji gado-gado, bahwa novel-novelnya (juga novel-novel lain sejenis) berkelas pizza sementara karya sastra lain berkelas gado-gado.

Jika diandaikan Fira dapat mewakili kalangan wanita penulis yang suka bereksperimen dengan “kelamin” di dalam karyanya, maka kita tidak bisa menganggap fenomena sastra wanita yang mengekspose imaji seks sebagai sekedar sebuah fenomena di dalam keuniversalan sastra atau kebebasan berkarya. Kita harus mampu membaca fenomena “sastra yang mengutak-atik kelamin” sebagai sebuah gerakan kelas dan politik identitas.

Identitas yang hendak diangkat oleh mereka adalah identitas kelas the have borjuasi kota dengan budaya materialisme seksualnya. Aroganisme kelas tertampakkan dari bahasa Fira yang menamakan sastranya sebagai “pizza”. Politik identitas itu muncul dari implikasi pernyataan bahwa Fira tetap akan menyajikan “pizza” meskipun Anda masih tergolong di dalam kelas penyuka “gado-gado”.

Kehadiran “sastra pizza” (sebutlah demikian untuk menyebut sastra para wanita kelas borjuasi ini) menunjukkan bahwa telah terjadi sebuah kontestasi kuasa di dalam medan komunikasi sastra kita. Di dalam kontestasi ini, oleh dukungan kapitalisme media, kaum “sastra pizza” yang mula-mula merumuskan dirinya sebagai the other, kemudian justru menjadi dominan. Dengan didukung kekuatan kapital yang besar dan simbiose mutualisme dengan industri media massa itu, “sastra pizza” hendak menghegemonikan “ideologi estetika kelas” mereka. Inilah politik identitas.

Karena itulah, saya menganggap wajar jika kemudian muncul beberapa pendapat yang mengusulkan untuk “melawan” materialisme seksual dari “sastra pizza” itu. Sebuah kewajaran bahkan mungkin keharusan jika kesadaran kelas dilawan dengan kesadaran kelas, politik identitas dihadapi dengan politik identitas. Jika kelas “sastra pizza” telah melakukan gerakan missie demi menjadi hegemonik, kelas “sastra gado-gado” terpancing untuk berkhotbah menyelamatkan intelektualitas bangsa dari gerogotan ide-ide materialisme seksual.

Saya termasuk yang tidak mudah percaya bahwa yang hendak diperjuangkan oleh “sastra pizza” itu adalah semangat feminisme dalam arti penyelamatan harkat dan derajat perempuan di depan laki-laki. Saya lebih merasakan bahwa “sastra pizza” sekedar berdagang “feminisme” dan “kebebasan berekspresi”, menggunakan isu-isu feminisme dan kebebasan berekspresi untuk capaian-capaian material.

Jadi, menurut saya politik identitas yang mereka usung bukanlah feminisme melainkan materialisme. Ide-ide yang hendak mereka usung adalah ide-ide kapitalisme-borjuasi dengan filsafat moral yang nihilistik.

Saya seperasaan dengan mereka yang berpendapat bahwa kesemarakan vulgarisme dalam “sastra pizza” itu justru kian memosisikan kaum wanita sebagai komunitas (atau obyek) yang dilecehkan. Dalam “sastra pizza” itu wanita “ditelanjangi” untuk sekedar mendemonstrasikan betapa kaum (penulis) wanita berkuasa atas makna diskursif tubuhnya sendiri. Jangan-jangan nanti kaum laki-laki justru akan menganggap bahwa wanita hanya lihai mengeksplorasi ketubuhan semata. Jangan-jangan pula nanti penulis wanita hanya dianggap mampu mengeksplorasi “tubuh teks” tanpa pernah bisa menggali kedewasaan dan spiritualitas dari “jiwa teks”.

Tentu saja, jika kaum proletar “sastra gado-gado” hendak melawan kaum borjuasi “sastra pizza”, mereka memerlukan kesabaran, ketabahan, dan kekerjakerasan karena “sastra pizza” ini dimotori oleh kaum wanita dari kelas borjuasi dengan dukungan penuh dari kekuatan modal dan industri media. Selain itu, mereka telah menembak langsung ke jantung selera pasar karena ideologi mereka memang kapitalisme.

Sastra serius selalu saja gelagapan ketika harus terlibat di dalam pertarungan pasar. Namun, bukan berarti bahwa sastra serius sama sekali tidak bisa bertahan menghadapi gelontoran sastra pop-snob. Hal inilah yang memunculkan pemikiran bahwa semangat proletar kaum “gado-gado” bisa selalu digelorakan untuk menghadapi penjajahan dan hegemoni wacana yang dilakukan oleh kelas borjuasi kaum “pizza”.

Hanya saja, kritik saya pada mereka yang memerangi sastra snob tersebut adalah mereka terkadang berhenti hanya sebatas menghujat saja. Bagaimana pun, kaum borjuasi pengusung “sastra pizza” tersebut patut diakui memiliki kelebihan dalam hal produktivitas berkarya. Mereka juga memiliki tingkat eksplorasi estetika yang menggemaskan. Dengan demikian, menandingi mereka adalah bukan dengan menghujatnya.

Perang wacana sudah tidak produktif lagi dilakukan. Berhentilah saling menghujat. Biarlah semua pihak bekerja dan bergerak. Lawan kerja dengan kerja, lawan gerakan dengan gerakan. Gelontorkan karya-karya yang sebisa mungkin lebih menggemaskan dan bermutu dibandingkan dengan karya-karya kelas borjuasi tersebut dan luaskan penyampaian karya-karya kaum proletar sampai ke desa-desa. Barangkali karya-karya penulis borjuasi itu sedang berjaya di kota-kota kita, tapi belum tentu ia sudah merambah ke desa-desa, karena itu desa-desa harus disupport dengan karya-karya nonpenulis borjuasi. Insyaallah, “desa akan mengepung kota”.

Model gerakan Forum Lingkar Pena (FLP) cukup pas. FLP bisa memiliki organ-organ yang menjangkau sampai ke desa-desa bahkan pedalaman. Hanya saja, diperlukan gerakan serupa dengan perangkat dan modus operandi yang berbeda, komunitas dengan semangat serupa tapi mengusung karya universal yang tidak hanya membidik segolongan spesifik pembaca dan tidak berparadigma hitam putih dalam mendedah persoalan.

Hayo, siapa berani bekerja siapa berani bergerak? Siapa berani tak hanya saling menghujat sahaja? Berdoalah.***

Amien Wangsitalaja
Penyair.

Pulang Haji *

22.35 Posted In , Edit This 0 Comments »
Amien Wangsitalaja

Haji Norham akhir-akhir ini merasa, sepertinya makin banyak saja orang melakukan kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek sosial dan atau keagamaan. Dari anak-anak muda sampai orang-orang tua, dari panitia-panitia kecil sampai panitia-panitia besar. Haji Norham merasakan hal ini sepulangnya dari ibadah hajinya setahun lalu. Dan ia merasakannya bukan karena setelah pulang haji itu ia menjadi interes dengan kegiatan atau acara berbau sosial dan atau keagaaman itu. Sama sekali bukan, karena ia hampir tak punya waktu untuk hal-hal semacam itu. Ia tak kan punya waktu untuk hal-hal di luar kesibukan kantor yang cukup menguras pikiran dan energi.

Haji Norham merasakannya jika pada malam hari menjelang tidur istrinya melaporkan kondisi keuangan harian keluarga. Di samping untuk kebutuhan subsistensi harian, uang jajan anak, uang arisan, biasanya istrinya juga menyebutkan pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga atau tak direncanakan. Paling sering dari pengeluaran tak terencana ini adalah sumbangan dana untuk acara-acara sosial dan atau keagamaan.

“Siang tadi datang beberapa mahasiswa dari Kerohanian Islam FKIP Bahasa Indonesia. Mereka akan mengadakan bakti sosial dalam rangka merayakan Idul Qurban di sebuah desa transmigran di Kutai Kartanegara Seberang. Mereka butuh dana dan pakaian-pakaian bekas. Ini proposal kegiatan mereka.”

“Berapa kau kasihkan, Ma?”
“Seratus ribu….”
“Seratus ribu?!”
“Juga enam belas helai pakaian bekas kita.”

“Kenapa seratus ribu? Apa kau sudah merasa cukup kaya raya dengan gajiku yang hanya dua setengah juta sebulan itu? Jika setiap orang datang minta sumbangan kau kasih sekian dan perbulan kita menerima lebih dari sepuluh proposal kegiatan, bagaimana kita akan memenuhi kebutuhan keluarga kita sendiri?”

“Saya merasa tidak enak untuk memberi sedikit. Mereka tahu Ayah adalah seorang haji lagi seorang yang memiliki jabatan kepala bagian di sebuah kantor ternama di Samarinda ini.”

“Apakah seorang haji atau seorang yang memiliki jabatan penting di sebuah kantor harus berarti orang yang kaya dan tidak pernah memunyai problem keuangan?”

“Tapi…, mahasiswa-mahasiswa itu bilang bahwa yang memberitahu dan menyuruh mereka untuk datang ke sini adalah Julak Puji, dan kulihat di proposal mereka memang terdapat nama Pujiharto, S.S., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing. Bukankah Julak Puji itu teman Ayah sewaktu jadi mahasiswa di Jawa dulu? Apakah Ayah tak sungkan pada Julak jika kita hanya memberi sedikit apalagi menolak proposal mereka?”

Haji Norham tiba-tiba menjadi sangat terbebani dengan gelar haji yang sedang disandangnya, ketika sebuah gelar selalu berhubungan dengan persoalan gengsi dan citra. Ia sendiri sebetulnya tidak memiliki kebiasaan untuk menuliskan inisial “H” di depan namanya ketika ia menuliskan namanya untuk keperluan apa pun. Tapi, orang lain melakukan demikian terhadapnya. Ini tampak dari, misalnya, undangan rapat kantor atau pertemuan wali murid dari sekolah anaknya. Mereka menulis di kertas undangan itu Kepada Yth. Bpk. H. Norham Wahab, S.S.

Dan orang-orang memang terlanjur mengenalnya sebagai seorang haji. Maka, sepintar apa pun ia menyembunyikan inisial “H” itu orang-orang akan tetap memperlakukannya sebagai seorang haji. Dan yang paling memuakkan dari perlakuan orang-orang itu terhadap seorang haji adalah sikap mereka yang muncul dari citra yang tertanam secara umum bahwa seorang haji pastilah kaya dan suka berderma. Kaya, karena orang tahu bahwa tidak setiap orang mampu untuk melakukan ibadah ini oleh sebab biayanya yang teramat tinggi. Suka berderma, karena seseorang yang terpanggil untuk ibadah haji dianggap pastilah seseorang yang memperhatikan agamanya, sedang berderma adalah sebagian dari moralitas yang direkomendasikan oleh agama.

Karena itu, jika di langgar RT atau masjid RW diadakan acara peringatan Maulid Nabi atau ketika lantai langgar/masjid akan diganti dari ulin menjadi semen dan dari semen menjadi keramik, misalnya, orang-orang akan memosisikan Haji Norham sebagai penyandang dana dengan nominal yang lebih tinggi dari warga umumnya. Itu karena ia seorang haji. Bahkan, perlakuan semacam ini kemudian juga berlaku untuk bukan saja hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan persoalan keagamaan. Untuk kegiatan-kegiatan kerja bakti RT, pembikinan gapura gang, acara agustusan, dan sebagainya, orang-orang pastilah membawa proposalnya pertama kali ke rumah Haji Norham.

Biasanya yang menemui mereka adalah istrinya karena ia sendiri berada di kantor siang hari. Dan istrinya, sebagai seorang perempuan, pastilah sensitif dalam persoalan gengsi dan citra diri. Istrinya pasti tidak akan menolak proposal apa pun dan jika memberi pastilah dalam angka yang dianggapnya pantas sebagai sumbangan dana dari keluarga seorang haji.

Sering Haji Norham berpikir mungkin lebih baik ia mengumumkan kepada orang-orang itu bahwa dirinya tidaklah kaya-kaya amat. Ia sendiri merasa bahwa dirinya bahkan belum termasuk jajaran orang yang agak kaya pun. Ia memunyai rumah, tapi itu dibelinya dengan bantuan mertua dan orang tuanya di Jawa. Meski ia memang mampu mempercantik rumah itu, ia tidak merasa yakin mampu membeli rumah itu sendiri. Ia pun memakai mobil, tapi bukankah itu mobil kantor?

Kemudian soal haji? Ia memang tidak sempat berterus terang kepada orang-orang, entah karena gengsi atau apa, bahwa ia tidak berhaji atas biaya sendiri. Secara kebetulan dan di luar kebiasaan, Kepala Kantor tempatnya bekerja memiliki inisiatif untuk mengadakan pemilihan pegawai teladan. Ia pun terpilih karena etosnya dalam bekerja memang tidak diragukan. Dan bukan main hadiahnya: dihajikan oleh kantor. Begitulah, tahun lalu ia naik haji.

Haji Norham merasa bahwa orang-orang itu tidak mau tahu bahwa ia bisa naik haji bukan karena ia kaya. Sebagai orang yang tidaklah kaya, ia bahkan tidak pernah sempat memiliki pikiran untuk suatu saat bisa naik haji karena ia merasa jalan ke sana teramat jauh jika melihat kondisi keuangannya. Ia cukup rasional dalam sikapnya. Memang, konon ada beberapa cerita yang kurang rasional mengenai hasrat berhaji. Inti cerita itu rata-rata mengungkapkan perihal orang-orang yang secara nalar tidak mungkin bisa naik haji, tapi oleh kuatnya doa dan hasrat orang tersebut akhirnya bisa melaksanakan haji dengan jalan yang tak terduga.

Misalnya, konon ada seorang pembantu yang bekerja pada seorang juragan dari sebuah kerajinan perak di Kotagede Yogyakarta, sebuah kota di Jawa tempat Haji Norham dahulu menyelesaikan kuliah S1-nya. Kisah tentang pembantu itu sendiri didapat Haji Norham dari seorang sastrawan Yogyakarta yang teramat relijius bernama Mustofa W Hasyim, teman Haji Norham juga.

Seorang pembantu janganlah dibayangkan memiliki cukup uang, bahkan untuk kebutuhan harian pun. Karena itu, janganlah dinalarkan suatu saat ia bisa naik haji. Tapi, si pembantu itu memiliki doa dan hasrat yang hebat untuk ke sana. Tiap kali ia disuruh membeli rokok oleh juragannya, ia selalu memungut sebutir kerikil dari jalan yang dilaluinya dari antara rumah majikannya dengan warung rokok. Malam harinya kerikil itu dibawanya pulang dan dikumpulkannya di dalam sebuah karung beras. Anak lelakinya yang sempat mengenyam SMA meski tidak tamat terheran-heran dengan kebiasaan bapaknya mengumpulkan kerikil tersebut.

“Untuk apa sih, Pak, kerikil-kerikil itu?”
“Ini bapakmu kumpulkan setiap kali bapakmu bekerja mengabdi pada majikan yang memberi kita makan. Kerikil-kerikil ini menjadi saksi atas ibadah dan mu’amalah bapakmu ini. Kelak, kerikil-kerikil ini akan menjelma menjadi batangan-batangan emas yang akan bapakmu gunakan untuk membiayai haji.”

“Ha ha ha….”
“Kenapa? Kamu tidak memercayainya?”
“Aduuh, Bapak, Bapak…. Bapak sedang mimpi atau mengejek Tuhan, Pak?

Bagaimana kerikil berubah menjadi emas?”
“Kamu pasti tidak akan memercayainya. Tapi, jangan ejek bapakmu karena itu berarti mengejek Tuhanmu.”

Akhirnya, setelah sekian lama menjadi pembantu, karung beras tersebut penuhlah oleh kerikil. Entah berapa ratus ribu biji kerikil yang berarti berapa ratus ribu kali pula si pembantu itu berjalan dari rumah majikan ke warung rokok demi memenuhi tugasnya dan demi beribadah mencari nafkah dan berapa ratus ribu butir keringat pula menetes dari tubuhnya.

Namun, kerikil-kerikil itu tak kunjung jua menjelma menjadi kepingan-kepingan emas. Malam itu anak lelaki satu-satunya kembali sinis kepadanya,
“Gimana, Pak? Kapan Bapak akan menjual emas-emas Bapak untuk membayar ONH?”

Si pembantu itu tampak termenung seolah putus asa dengan kehidupannya. Ia merasa sedang bercanda dengan nasib. Bagaimana mungkin seorang pembantu berharap bisa naik haji? Tidakkah ia berkaca diri? Tidak sadarkah bahwa dirinya hanyalah seorang pembantu?

Esok paginya si pembantu itu mencoba melupakan kepiluan hatinya atas ejekan dari anak lelakinya semalam. Ia kembali menyiapkan diri untuk bekerja, berangkat ke rumah majikannya.

Hari itu, seperti biasanya majikan menyuruhnya membeli rokok. Ia pun berangkat ke warung rokok seperti biasanya melalui jalan seperti biasanya. Namun, tidak seperti biasanya ia lupa memungut sebuah kerikil untuk dibawa pulang malam harinya dan disimpan untuk siapa tahu nantinya menjelma menjadi batangan emas.

Sesampai di rumah majikannya ia segera menyerahkan rokok kepada majikannya.
“Pak Toto, duduklah dulu.”

Toto Sugih, itulah namanya, dan ia berusia lebih tua dari majikannya sehingga majikan yang berusia lebih muda darinya itu selalu memanggilnya dengan “pak” di depan namanya.

“Ya, Tuan.”
“Pak Toto tahu mengenai kondisi kesehatan Nyonya, bukan?”
“Ya, Tuan. Ada apa gerangan?”

“Begini, kami sudah lama berencana untuk bersama-sama naik haji. Setelah bertahun-tahun menyisihkan laba, kami merasa tahun ini keuangan kami telah mencukupi untuk membiayai keberangkatan kami berdua. Tapi, sebagaimana Pak Toto ketahui, diabetes Nyonya semakin parah saja dan tidak memungkinkannya untuk pergi haji. Kami semalam mengobrol dan Nyonya memutuskan merelakan diri untuk tidak berangkat haji. Bukan hanya itu, sebagai rasa terima kasih dan penghormatan kami atas kesetiaan Pak Toto bekerja di rumah kami, Nyonya telah memutuskan untuk menshadaqahkan uang hajinya kepada Pak Toto. Karena itu, Pak Toto bersiaplah tahun ini naik haji bersama saya.”

“Ya, Allah! Ma syaallah! Subhanallah!”
Tak kuasa pembantu itu menahan tangis. Ia tidak percaya dengan datangnya rizqi yang tiada pernah diduganya dan ia menyesal telah sempat berputus asa terhadap rahmat Tuhan.

Kemudian, tahun itu pula naik hajilah si pembantu itu, tentu saja tidak dengan menjual kerikil-kerikil yang terkumpul di karung beras yang memang tidak akan pernah menjelma menjadi batangan emas itu.

Jika mengingat cerita semacam itu terkadang Haji Norham merasakan kemiripannya dengan apa yang dialaminya. Tapi, ia selalu menganggap kepergian hajinya bukanlah sebuah keajaiban. Hal yang rasional baginya jika kantor tempatnya bekerja menghajikannya karena pertimbangannya juga rasional, karena ia memang cukup memiliki dedikasi dan etos kerja yang tinggi.

Tapi, ia pun juga sangat berbahagia dengan kesempatan berhaji itu. Hanya, efek samping dari konsekuensi gelar hajinya itulah yang kini merisaukannya. Perlakuan orang-orang itulah yang membuatnya risih meski istrinya selalu mencoba menetralkan perasaannya.

“Sudahlah, Yah. Bukankah bershadaqah itu besar pahalanya? Insyaallah Tuhan akan membalas dengan rizqi yang lebih besar.”

Selalu saja istrinya berbicara mengenai pahala. Bukan berarti Haji Norham tidak percaya adanya pahala, tapi ia tidak ingin bersikap munafik bahwa selama ini mereka bershadaqah tidak seratus persen oleh keikhlasan. Mereka bershadaqah oleh adanya sedikit keterpaksaan dan keharusan. Orang-orang yang datang membawa proposal dan list donatur terkadang mirip para perampok baginya yang tidak memberi kesempatan lain selain bahwa ia harus memberi sejumlah uang pantas kepada mereka.

Tiba-tiba Haji Norham menjadi tidak nyaman dengan malam-malamnya karena malam-malam itu harus dilaluinya dengan mendengarkan laporan pengeluaran keuangan harian dari istrinya dan teramat sering di laporan itu disebutkan perihal shadaqah untuk proposal kegiatan atau pembangunan sarana dan prasarana kegiatan sosial dan atau keagamaan.

Uang, itulah pangkal persoalannya. Orang butuh uang untuk sebuah kegiatan yang meriah. Orang butuh uang untuk pembangunan sarana dan prasarana kegiatan yang megah. Orang malu masjid atau langgarnya tidak berkeramik, orang malu gapura gang RT tidak cantik. Orang mengejar penampakan dan bukan substansi. Jika memperingati Maulid Nabi, bukan bagaimana bisa mengambil ibrah dari kehidupan Nabi yang ditekankan, tapi semata meriahnya acara.

Orang tidak lebih memikirkan bagaimana memakmurkan masjid, memfungsikan masjid secara esensial sebagai sarana ibadah dan dakwah; tapi orang lebih memikirkan bagaimana merias masjid dan memewahkan struktur bangunan fisiknya. Masjid harus megah, bertingkat, bahkan jika perlu terbesar dengan tiang pancang menara terdalam se-ASEAN.

Haji Norham menjadi teringat masa kecilnya di sebuah dusun kecil di pinggiran Kabupaten Pacitan, sebuah kabupaten bertanah tandus di Jawa. Masjid dusunnya sederhana tapi mengabarkan adanya ruh di sana. Jika datang hari-hari peringatan keagamaan, orang cukup berkumpul, berdoa, dan saling nasihat-menasihati.

Haji Norham memang bukan penduduk asli di RT tempatnya tinggal sekeluarga sekarang ini. Sekitar limabelas tahun lalu, setelah menyelesaikan kuliah di Yogyakarta, Haji Norham tidak pulang ke dusun tempat kelahirannya, Pacitan yang gersang, tapi lebih memilih—bersama beberapa temannya—mengadu nasib merantau ke Samarinda. Nasib baik menyertainya, ia diterima menjadi PNS di instansi penting di kota tersebut. Nasib yang lebih baik lagi, lima tahun kemudian ia menemukan tambatan hatinya dan menikah dengan seorang gadis asli Samarinda sehingga kian mantaplah Haji Norham menjadi urang Samarinda.

Haji Norham tiba-tiba merindukan masjid dusun asalnya sebelum merantau itu. Ia merindukan keberagamaan yang sederhana, yang tidak harus menjajakan proposal penggalangan dana. Mungkin tidak ada salahnya jika ia mengambil cuti barang seminggu untuk pulang ke Jawa di lebaran Haji tahun ini. Barangkali lebih lima tahun ia lupa pulang ke desanya di Jawa. Ia ingin mengenang masjid dusunnya.

Jadilah ia sendirian pulang ke Jawa. Anak-anak tidak bisa ikut karena sekolah tidak libur panjang selain juga biaya tiket pesawat sangat mahal sedangkan kalau memakai kapal laut akan sangat memakan waktu perjalanan. Istrinya pun juga tak ikut karena harus menemani anak-anak.

Haji Norham melakukan shalat Ied di masjid dusunnya di Jawa. Masjid itu mulai menampakkan perubahan. Wajarlah kiranya, rentang waktu lebih dari lima tahun menjadikan masjid dusunnya mulai diperbaiki dan diperluas. Rupanya demam pembangunan sudah menjangkau ke desa-desa dan pelosok-pelosok dusun.

Pada hari ketiga kepulangannya, Kadus (Kepala Dusun) dan Ketua RT bersilaturahim ke rumah bapaknya. Haji Norham ikut menemui mereka. Mereka pun berakrab-akrablah melepas rindu. Haji Norham memuji perkembangan yang terjadi di dusun dan tentu saja para tamu itu merespon secara antusias.

“Kita memang sangat berterima kasih dengan anak-anak kita yang menjadi perantau, merekalah tumpuan kita untuk perbaikan dusun ini. Lebaran Fitri kemarin, paguyuban warga kita yang merantau ke Jakarta kembali menyumbang untuk pembangunan dusun dan masjid kita. Alhamdulillah jumlahnya cukup besar, Pak Haji, lima juta rupiah.”

Kadus dan Ketua RT timpal-menimpali menceritakan pembangunan dusun dan uluran dana para perantau.

“Memang baru para perantau di Jakartalah yang tampak memiliki perhatian pada dusun asal mereka. Padahal kita juga mengharapkan anak-anak kita yang merantau ke tempat lain berbuat demikian. Pembangunan dusun kita masih memerlukan uluran dana yang lebih besar lagi. Kita belum punya gapura dusun yang permanen, jalan-jalan di dalam dusun belum diaspal, masjid belum memiliki serambi dan taman….”

“Secara kebetulan sekali lebaran Haji ini Pak Haji Norham pulang dusun. Karena itulah, kami atas nama sesepuh dusun mewakili para warga juga berharap sekiranya Pak Haji bersedia mengumpulkan para anak-anak kita yang merantau ke Kalimantan dan membikin paguyuban di sana. Tidak lupa setelah paguyuban berdiri, pikirkanlah kami yang terlantar di dusun ini.”

“Atau, barangkali Pak Haji sendiri saat ini juga akan memelopori, atas nama perantau di Kalimantan, mendermakan sedikit dari harta Pak Haji untuk pembangunan dusun kita ini? Itu kami pikir sangat mulia dan kami sangat berterima kasih atas nama warga. Tentu, sebagai seorang haji, Bapak tidak rela jika masjid dusun kita kalah megah dengan masjid dusun sebelah.”

“Anak-anak remaja masjid juga mulai bersemangat mengadakan berbagai kegiatan semacam peringatan hari-hari keagamaan, Pak Haji, sehingga masjid kita menjadi tidak sepi.”

Berapi-api kedua-duanya mencecarkan kata-kata ke telinga Haji Norham. Haji Norham tak kuasa menimpali mereka. Ia bingung dan hanya mampu menjawab dengan mengumbar senyum. Diam-diam Haji Norham membatin,

“Seandainya istrikulah yang menemui kedua sesepuh desa ini….”
***

*) Pernah dimuat di Jawa Pos