Share |

Pulang Haji *

22.35 Posted In , Edit This 0 Comments »
Amien Wangsitalaja

Haji Norham akhir-akhir ini merasa, sepertinya makin banyak saja orang melakukan kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek sosial dan atau keagamaan. Dari anak-anak muda sampai orang-orang tua, dari panitia-panitia kecil sampai panitia-panitia besar. Haji Norham merasakan hal ini sepulangnya dari ibadah hajinya setahun lalu. Dan ia merasakannya bukan karena setelah pulang haji itu ia menjadi interes dengan kegiatan atau acara berbau sosial dan atau keagaaman itu. Sama sekali bukan, karena ia hampir tak punya waktu untuk hal-hal semacam itu. Ia tak kan punya waktu untuk hal-hal di luar kesibukan kantor yang cukup menguras pikiran dan energi.

Haji Norham merasakannya jika pada malam hari menjelang tidur istrinya melaporkan kondisi keuangan harian keluarga. Di samping untuk kebutuhan subsistensi harian, uang jajan anak, uang arisan, biasanya istrinya juga menyebutkan pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga atau tak direncanakan. Paling sering dari pengeluaran tak terencana ini adalah sumbangan dana untuk acara-acara sosial dan atau keagamaan.

“Siang tadi datang beberapa mahasiswa dari Kerohanian Islam FKIP Bahasa Indonesia. Mereka akan mengadakan bakti sosial dalam rangka merayakan Idul Qurban di sebuah desa transmigran di Kutai Kartanegara Seberang. Mereka butuh dana dan pakaian-pakaian bekas. Ini proposal kegiatan mereka.”

“Berapa kau kasihkan, Ma?”
“Seratus ribu….”
“Seratus ribu?!”
“Juga enam belas helai pakaian bekas kita.”

“Kenapa seratus ribu? Apa kau sudah merasa cukup kaya raya dengan gajiku yang hanya dua setengah juta sebulan itu? Jika setiap orang datang minta sumbangan kau kasih sekian dan perbulan kita menerima lebih dari sepuluh proposal kegiatan, bagaimana kita akan memenuhi kebutuhan keluarga kita sendiri?”

“Saya merasa tidak enak untuk memberi sedikit. Mereka tahu Ayah adalah seorang haji lagi seorang yang memiliki jabatan kepala bagian di sebuah kantor ternama di Samarinda ini.”

“Apakah seorang haji atau seorang yang memiliki jabatan penting di sebuah kantor harus berarti orang yang kaya dan tidak pernah memunyai problem keuangan?”

“Tapi…, mahasiswa-mahasiswa itu bilang bahwa yang memberitahu dan menyuruh mereka untuk datang ke sini adalah Julak Puji, dan kulihat di proposal mereka memang terdapat nama Pujiharto, S.S., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing. Bukankah Julak Puji itu teman Ayah sewaktu jadi mahasiswa di Jawa dulu? Apakah Ayah tak sungkan pada Julak jika kita hanya memberi sedikit apalagi menolak proposal mereka?”

Haji Norham tiba-tiba menjadi sangat terbebani dengan gelar haji yang sedang disandangnya, ketika sebuah gelar selalu berhubungan dengan persoalan gengsi dan citra. Ia sendiri sebetulnya tidak memiliki kebiasaan untuk menuliskan inisial “H” di depan namanya ketika ia menuliskan namanya untuk keperluan apa pun. Tapi, orang lain melakukan demikian terhadapnya. Ini tampak dari, misalnya, undangan rapat kantor atau pertemuan wali murid dari sekolah anaknya. Mereka menulis di kertas undangan itu Kepada Yth. Bpk. H. Norham Wahab, S.S.

Dan orang-orang memang terlanjur mengenalnya sebagai seorang haji. Maka, sepintar apa pun ia menyembunyikan inisial “H” itu orang-orang akan tetap memperlakukannya sebagai seorang haji. Dan yang paling memuakkan dari perlakuan orang-orang itu terhadap seorang haji adalah sikap mereka yang muncul dari citra yang tertanam secara umum bahwa seorang haji pastilah kaya dan suka berderma. Kaya, karena orang tahu bahwa tidak setiap orang mampu untuk melakukan ibadah ini oleh sebab biayanya yang teramat tinggi. Suka berderma, karena seseorang yang terpanggil untuk ibadah haji dianggap pastilah seseorang yang memperhatikan agamanya, sedang berderma adalah sebagian dari moralitas yang direkomendasikan oleh agama.

Karena itu, jika di langgar RT atau masjid RW diadakan acara peringatan Maulid Nabi atau ketika lantai langgar/masjid akan diganti dari ulin menjadi semen dan dari semen menjadi keramik, misalnya, orang-orang akan memosisikan Haji Norham sebagai penyandang dana dengan nominal yang lebih tinggi dari warga umumnya. Itu karena ia seorang haji. Bahkan, perlakuan semacam ini kemudian juga berlaku untuk bukan saja hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan persoalan keagamaan. Untuk kegiatan-kegiatan kerja bakti RT, pembikinan gapura gang, acara agustusan, dan sebagainya, orang-orang pastilah membawa proposalnya pertama kali ke rumah Haji Norham.

Biasanya yang menemui mereka adalah istrinya karena ia sendiri berada di kantor siang hari. Dan istrinya, sebagai seorang perempuan, pastilah sensitif dalam persoalan gengsi dan citra diri. Istrinya pasti tidak akan menolak proposal apa pun dan jika memberi pastilah dalam angka yang dianggapnya pantas sebagai sumbangan dana dari keluarga seorang haji.

Sering Haji Norham berpikir mungkin lebih baik ia mengumumkan kepada orang-orang itu bahwa dirinya tidaklah kaya-kaya amat. Ia sendiri merasa bahwa dirinya bahkan belum termasuk jajaran orang yang agak kaya pun. Ia memunyai rumah, tapi itu dibelinya dengan bantuan mertua dan orang tuanya di Jawa. Meski ia memang mampu mempercantik rumah itu, ia tidak merasa yakin mampu membeli rumah itu sendiri. Ia pun memakai mobil, tapi bukankah itu mobil kantor?

Kemudian soal haji? Ia memang tidak sempat berterus terang kepada orang-orang, entah karena gengsi atau apa, bahwa ia tidak berhaji atas biaya sendiri. Secara kebetulan dan di luar kebiasaan, Kepala Kantor tempatnya bekerja memiliki inisiatif untuk mengadakan pemilihan pegawai teladan. Ia pun terpilih karena etosnya dalam bekerja memang tidak diragukan. Dan bukan main hadiahnya: dihajikan oleh kantor. Begitulah, tahun lalu ia naik haji.

Haji Norham merasa bahwa orang-orang itu tidak mau tahu bahwa ia bisa naik haji bukan karena ia kaya. Sebagai orang yang tidaklah kaya, ia bahkan tidak pernah sempat memiliki pikiran untuk suatu saat bisa naik haji karena ia merasa jalan ke sana teramat jauh jika melihat kondisi keuangannya. Ia cukup rasional dalam sikapnya. Memang, konon ada beberapa cerita yang kurang rasional mengenai hasrat berhaji. Inti cerita itu rata-rata mengungkapkan perihal orang-orang yang secara nalar tidak mungkin bisa naik haji, tapi oleh kuatnya doa dan hasrat orang tersebut akhirnya bisa melaksanakan haji dengan jalan yang tak terduga.

Misalnya, konon ada seorang pembantu yang bekerja pada seorang juragan dari sebuah kerajinan perak di Kotagede Yogyakarta, sebuah kota di Jawa tempat Haji Norham dahulu menyelesaikan kuliah S1-nya. Kisah tentang pembantu itu sendiri didapat Haji Norham dari seorang sastrawan Yogyakarta yang teramat relijius bernama Mustofa W Hasyim, teman Haji Norham juga.

Seorang pembantu janganlah dibayangkan memiliki cukup uang, bahkan untuk kebutuhan harian pun. Karena itu, janganlah dinalarkan suatu saat ia bisa naik haji. Tapi, si pembantu itu memiliki doa dan hasrat yang hebat untuk ke sana. Tiap kali ia disuruh membeli rokok oleh juragannya, ia selalu memungut sebutir kerikil dari jalan yang dilaluinya dari antara rumah majikannya dengan warung rokok. Malam harinya kerikil itu dibawanya pulang dan dikumpulkannya di dalam sebuah karung beras. Anak lelakinya yang sempat mengenyam SMA meski tidak tamat terheran-heran dengan kebiasaan bapaknya mengumpulkan kerikil tersebut.

“Untuk apa sih, Pak, kerikil-kerikil itu?”
“Ini bapakmu kumpulkan setiap kali bapakmu bekerja mengabdi pada majikan yang memberi kita makan. Kerikil-kerikil ini menjadi saksi atas ibadah dan mu’amalah bapakmu ini. Kelak, kerikil-kerikil ini akan menjelma menjadi batangan-batangan emas yang akan bapakmu gunakan untuk membiayai haji.”

“Ha ha ha….”
“Kenapa? Kamu tidak memercayainya?”
“Aduuh, Bapak, Bapak…. Bapak sedang mimpi atau mengejek Tuhan, Pak?

Bagaimana kerikil berubah menjadi emas?”
“Kamu pasti tidak akan memercayainya. Tapi, jangan ejek bapakmu karena itu berarti mengejek Tuhanmu.”

Akhirnya, setelah sekian lama menjadi pembantu, karung beras tersebut penuhlah oleh kerikil. Entah berapa ratus ribu biji kerikil yang berarti berapa ratus ribu kali pula si pembantu itu berjalan dari rumah majikan ke warung rokok demi memenuhi tugasnya dan demi beribadah mencari nafkah dan berapa ratus ribu butir keringat pula menetes dari tubuhnya.

Namun, kerikil-kerikil itu tak kunjung jua menjelma menjadi kepingan-kepingan emas. Malam itu anak lelaki satu-satunya kembali sinis kepadanya,
“Gimana, Pak? Kapan Bapak akan menjual emas-emas Bapak untuk membayar ONH?”

Si pembantu itu tampak termenung seolah putus asa dengan kehidupannya. Ia merasa sedang bercanda dengan nasib. Bagaimana mungkin seorang pembantu berharap bisa naik haji? Tidakkah ia berkaca diri? Tidak sadarkah bahwa dirinya hanyalah seorang pembantu?

Esok paginya si pembantu itu mencoba melupakan kepiluan hatinya atas ejekan dari anak lelakinya semalam. Ia kembali menyiapkan diri untuk bekerja, berangkat ke rumah majikannya.

Hari itu, seperti biasanya majikan menyuruhnya membeli rokok. Ia pun berangkat ke warung rokok seperti biasanya melalui jalan seperti biasanya. Namun, tidak seperti biasanya ia lupa memungut sebuah kerikil untuk dibawa pulang malam harinya dan disimpan untuk siapa tahu nantinya menjelma menjadi batangan emas.

Sesampai di rumah majikannya ia segera menyerahkan rokok kepada majikannya.
“Pak Toto, duduklah dulu.”

Toto Sugih, itulah namanya, dan ia berusia lebih tua dari majikannya sehingga majikan yang berusia lebih muda darinya itu selalu memanggilnya dengan “pak” di depan namanya.

“Ya, Tuan.”
“Pak Toto tahu mengenai kondisi kesehatan Nyonya, bukan?”
“Ya, Tuan. Ada apa gerangan?”

“Begini, kami sudah lama berencana untuk bersama-sama naik haji. Setelah bertahun-tahun menyisihkan laba, kami merasa tahun ini keuangan kami telah mencukupi untuk membiayai keberangkatan kami berdua. Tapi, sebagaimana Pak Toto ketahui, diabetes Nyonya semakin parah saja dan tidak memungkinkannya untuk pergi haji. Kami semalam mengobrol dan Nyonya memutuskan merelakan diri untuk tidak berangkat haji. Bukan hanya itu, sebagai rasa terima kasih dan penghormatan kami atas kesetiaan Pak Toto bekerja di rumah kami, Nyonya telah memutuskan untuk menshadaqahkan uang hajinya kepada Pak Toto. Karena itu, Pak Toto bersiaplah tahun ini naik haji bersama saya.”

“Ya, Allah! Ma syaallah! Subhanallah!”
Tak kuasa pembantu itu menahan tangis. Ia tidak percaya dengan datangnya rizqi yang tiada pernah diduganya dan ia menyesal telah sempat berputus asa terhadap rahmat Tuhan.

Kemudian, tahun itu pula naik hajilah si pembantu itu, tentu saja tidak dengan menjual kerikil-kerikil yang terkumpul di karung beras yang memang tidak akan pernah menjelma menjadi batangan emas itu.

Jika mengingat cerita semacam itu terkadang Haji Norham merasakan kemiripannya dengan apa yang dialaminya. Tapi, ia selalu menganggap kepergian hajinya bukanlah sebuah keajaiban. Hal yang rasional baginya jika kantor tempatnya bekerja menghajikannya karena pertimbangannya juga rasional, karena ia memang cukup memiliki dedikasi dan etos kerja yang tinggi.

Tapi, ia pun juga sangat berbahagia dengan kesempatan berhaji itu. Hanya, efek samping dari konsekuensi gelar hajinya itulah yang kini merisaukannya. Perlakuan orang-orang itulah yang membuatnya risih meski istrinya selalu mencoba menetralkan perasaannya.

“Sudahlah, Yah. Bukankah bershadaqah itu besar pahalanya? Insyaallah Tuhan akan membalas dengan rizqi yang lebih besar.”

Selalu saja istrinya berbicara mengenai pahala. Bukan berarti Haji Norham tidak percaya adanya pahala, tapi ia tidak ingin bersikap munafik bahwa selama ini mereka bershadaqah tidak seratus persen oleh keikhlasan. Mereka bershadaqah oleh adanya sedikit keterpaksaan dan keharusan. Orang-orang yang datang membawa proposal dan list donatur terkadang mirip para perampok baginya yang tidak memberi kesempatan lain selain bahwa ia harus memberi sejumlah uang pantas kepada mereka.

Tiba-tiba Haji Norham menjadi tidak nyaman dengan malam-malamnya karena malam-malam itu harus dilaluinya dengan mendengarkan laporan pengeluaran keuangan harian dari istrinya dan teramat sering di laporan itu disebutkan perihal shadaqah untuk proposal kegiatan atau pembangunan sarana dan prasarana kegiatan sosial dan atau keagamaan.

Uang, itulah pangkal persoalannya. Orang butuh uang untuk sebuah kegiatan yang meriah. Orang butuh uang untuk pembangunan sarana dan prasarana kegiatan yang megah. Orang malu masjid atau langgarnya tidak berkeramik, orang malu gapura gang RT tidak cantik. Orang mengejar penampakan dan bukan substansi. Jika memperingati Maulid Nabi, bukan bagaimana bisa mengambil ibrah dari kehidupan Nabi yang ditekankan, tapi semata meriahnya acara.

Orang tidak lebih memikirkan bagaimana memakmurkan masjid, memfungsikan masjid secara esensial sebagai sarana ibadah dan dakwah; tapi orang lebih memikirkan bagaimana merias masjid dan memewahkan struktur bangunan fisiknya. Masjid harus megah, bertingkat, bahkan jika perlu terbesar dengan tiang pancang menara terdalam se-ASEAN.

Haji Norham menjadi teringat masa kecilnya di sebuah dusun kecil di pinggiran Kabupaten Pacitan, sebuah kabupaten bertanah tandus di Jawa. Masjid dusunnya sederhana tapi mengabarkan adanya ruh di sana. Jika datang hari-hari peringatan keagamaan, orang cukup berkumpul, berdoa, dan saling nasihat-menasihati.

Haji Norham memang bukan penduduk asli di RT tempatnya tinggal sekeluarga sekarang ini. Sekitar limabelas tahun lalu, setelah menyelesaikan kuliah di Yogyakarta, Haji Norham tidak pulang ke dusun tempat kelahirannya, Pacitan yang gersang, tapi lebih memilih—bersama beberapa temannya—mengadu nasib merantau ke Samarinda. Nasib baik menyertainya, ia diterima menjadi PNS di instansi penting di kota tersebut. Nasib yang lebih baik lagi, lima tahun kemudian ia menemukan tambatan hatinya dan menikah dengan seorang gadis asli Samarinda sehingga kian mantaplah Haji Norham menjadi urang Samarinda.

Haji Norham tiba-tiba merindukan masjid dusun asalnya sebelum merantau itu. Ia merindukan keberagamaan yang sederhana, yang tidak harus menjajakan proposal penggalangan dana. Mungkin tidak ada salahnya jika ia mengambil cuti barang seminggu untuk pulang ke Jawa di lebaran Haji tahun ini. Barangkali lebih lima tahun ia lupa pulang ke desanya di Jawa. Ia ingin mengenang masjid dusunnya.

Jadilah ia sendirian pulang ke Jawa. Anak-anak tidak bisa ikut karena sekolah tidak libur panjang selain juga biaya tiket pesawat sangat mahal sedangkan kalau memakai kapal laut akan sangat memakan waktu perjalanan. Istrinya pun juga tak ikut karena harus menemani anak-anak.

Haji Norham melakukan shalat Ied di masjid dusunnya di Jawa. Masjid itu mulai menampakkan perubahan. Wajarlah kiranya, rentang waktu lebih dari lima tahun menjadikan masjid dusunnya mulai diperbaiki dan diperluas. Rupanya demam pembangunan sudah menjangkau ke desa-desa dan pelosok-pelosok dusun.

Pada hari ketiga kepulangannya, Kadus (Kepala Dusun) dan Ketua RT bersilaturahim ke rumah bapaknya. Haji Norham ikut menemui mereka. Mereka pun berakrab-akrablah melepas rindu. Haji Norham memuji perkembangan yang terjadi di dusun dan tentu saja para tamu itu merespon secara antusias.

“Kita memang sangat berterima kasih dengan anak-anak kita yang menjadi perantau, merekalah tumpuan kita untuk perbaikan dusun ini. Lebaran Fitri kemarin, paguyuban warga kita yang merantau ke Jakarta kembali menyumbang untuk pembangunan dusun dan masjid kita. Alhamdulillah jumlahnya cukup besar, Pak Haji, lima juta rupiah.”

Kadus dan Ketua RT timpal-menimpali menceritakan pembangunan dusun dan uluran dana para perantau.

“Memang baru para perantau di Jakartalah yang tampak memiliki perhatian pada dusun asal mereka. Padahal kita juga mengharapkan anak-anak kita yang merantau ke tempat lain berbuat demikian. Pembangunan dusun kita masih memerlukan uluran dana yang lebih besar lagi. Kita belum punya gapura dusun yang permanen, jalan-jalan di dalam dusun belum diaspal, masjid belum memiliki serambi dan taman….”

“Secara kebetulan sekali lebaran Haji ini Pak Haji Norham pulang dusun. Karena itulah, kami atas nama sesepuh dusun mewakili para warga juga berharap sekiranya Pak Haji bersedia mengumpulkan para anak-anak kita yang merantau ke Kalimantan dan membikin paguyuban di sana. Tidak lupa setelah paguyuban berdiri, pikirkanlah kami yang terlantar di dusun ini.”

“Atau, barangkali Pak Haji sendiri saat ini juga akan memelopori, atas nama perantau di Kalimantan, mendermakan sedikit dari harta Pak Haji untuk pembangunan dusun kita ini? Itu kami pikir sangat mulia dan kami sangat berterima kasih atas nama warga. Tentu, sebagai seorang haji, Bapak tidak rela jika masjid dusun kita kalah megah dengan masjid dusun sebelah.”

“Anak-anak remaja masjid juga mulai bersemangat mengadakan berbagai kegiatan semacam peringatan hari-hari keagamaan, Pak Haji, sehingga masjid kita menjadi tidak sepi.”

Berapi-api kedua-duanya mencecarkan kata-kata ke telinga Haji Norham. Haji Norham tak kuasa menimpali mereka. Ia bingung dan hanya mampu menjawab dengan mengumbar senyum. Diam-diam Haji Norham membatin,

“Seandainya istrikulah yang menemui kedua sesepuh desa ini….”
***

*) Pernah dimuat di Jawa Pos

0 komentar: